Transformasi Teknologi Informasi : Antara Kebutuhan dan Ketergantungan
Era 4.0 ditandai dengan era komunikasi berbasi internet. Perubahan mendasar dicirikan dengan tidak adanya batas geografis, sebab dunia telah menjadi apa yang disebut Marshall McLuhan sebagai desa global (global village). Kemajuan teknologi berimplikasi kepada berbagai kemungkinan baru, terutama terhadap media yang dapat menawarkan kreativitas yang secara fundamental mampu melahirkan konsep-konsep komunikasi massa dalam media.
Internetisasi media menjadi media digital memunculkan istilah media baru (new media) untuk membedakannya dengan media lama (tradisional atau konvensional). Perubahan dari media lama ke media baru meliputi perkembangan dalam teknologi, cakupan area, produksi dan distribusi massal, sampai pada efek media massa. Penyebaran melalui media baru bisa melampaui pola penyebaran pesan media tradisional, mengaburkan kapasitas interaksi, dan mengaburkan perbedaan komunikasi massa dan personal (berita dan informasi pribadi).
Kehadiran media baru pada awalnya disambut penuh euforia, namun berangsur-angsur berbalik, justru memunculkan ketakutan atas konsekuensi yang begitu luas. Perubahan yang paling utama adalah meningkatnya interaktivitas dan konektivitas jaringan; mobilisasi dan delokasi pengirim dan penerima proses adaptasi terhadap proses dan peranan publikasi dan khalayak terbentuknya banyak “pintu” baru media dan terjadinya pengaburan “lembaga media”.
Hal tersebut pada akhirnya menurut pandangan Rossler (2001), suka atau tidak suka mendorong perlunya penyesuaian media konvensional untuk memahami kemunculan media baru, terutama dalam pilihan konten dan jurnalisme media.
Penyesuaian hidup terhadap transformasi media pada akhirnya menciptakan kesenjangan digital, dalam kaitan perbedaan dalam mendapatkan informasi dan jalur komunikasi menjadi penentu bagi posisi seseorang dalam masyarakat. Kesenjangan juga mencakup pendapatan, pekerjaan, pendidikan, usia, etnis, serta kepemilikan perangkat. Kemajuan teknologi membelah dan menempel dalam perbedaan sosial lama dan baru, termasuk gender, serta keterampilan dalam peggunaan.
Dalam penelitian terkait konsumsi media oleh Lee (2010) mengadopsi Pefrey dan Grasser (2008) ada tiga model kelompok dalam konsumsi media digital, yakni Digital Native orang (usia 18-29 tahun) yang mempunyai akses dan keahlian untuk menggunakan teknologi jaringan sosial digital sejak belia Digital Immigrant orang (usia 30-64) yang proses transformasinya lambat dalam memahami dan menerima teknologi digital yang masih mengunakan surat elektronik, tetapi juga mencetak surat itu untuk dibaca dan dikoreksi. Digital Settler, orang (usia 65+) mereka yang menggunakan teknologi digital setelah dewasa dan masih menggunakan teknologi analog dalam berinteraksi.
Namun, Pandemi Covid-19 pada akhirnya memaksa manusia, muda maupun tua untuk meleburkan diri dalam transformasi teknologi ini. Penetrasi itu begitu kuat, sampai hampir tidak ada ruang bagi manusia untuk menolak atau bahkan menghindarinya.
Satu hal yang pasti, sekuat apapun penetrasi dan terpaan yang diakibatkannya, manusia harus menemukan kembali hakikatnya sebagai insan yang merasa, berempati, perduli dan saling mengasihi demi keutuhan kehidupan. Manusia adalah insan yang berakal budi yang semestinya mengetahui batas kebutuhan dan ketergantungan.