Perang Bersepuh Ekonomi dan Keseimbangan Baru (Bagian 3)

 Perang Bersepuh Ekonomi dan Keseimbangan Baru (Bagian 3)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Menjaga Nalar, Merawat Harapan

Setiap perang menciptakan komplikasi dan masalahnya tersendiri. Menghadapi perang yang makin intens, kemauan menjaga nalar dan merawat harapan dalam menggali pemikiran kritis pada solusi kerjasama sebagai kekuatan utama yang memungkinkan kita hidup bersama. Masyarakat menaruh harapan pada keseimbangan menjadi pendorong dalam menghindari keserakahan yang mendera aspek kehidupan. Agaknya kita perlu mengingat wejangan Mahatma Gandhi, “Earth is enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed” -Dunia ini cukup memenuhi kebutuhan setiap orang, tapi tidak keserakahannya. Lagi pula, akan lebih baik dan bermanfaat apabila kita seperti kata pepatah, daripada mengutuki kegelapan akan lebih baik menyalakan lilin.

Warga bangsa berharap akan kehidupan yang lebih damai dan toleran. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yohanes 1: 5). Menjadi terang bagi bangsa- bangsa adalah panggilan setiap orang Kristen yang mampu membangun pola pikir yang kehadirannya membuat warga bangsa ingin mengembangkan diri, kompetensi,resiliensi,dan profesionalisme dalam penatalayanan.

Kita menyadari bahwa dalam setiap perang selalu muncul dua narasi utama, kontestasi kekuatan dan interdependensi ekonomi. Bahkan dalam dimensi  spritual, untuk mampu menghadapi perang dibutuhkan sifat self reflective. Pertama-tama mengevaluasi diri dan kelompok sendiri dari pada menilai pihak di luar dirinya. Berperang dengan hawa nafsu yang mau menaklukkan jiwa serta berperang dengan roh-roh jahat dan tipu muslihatnya. Saat dunia terlibat dalam kegelapan karena persaingan geopolitik, kecemasan di antara negara-negara yang berperang bagaikan api dalam sekam: kalau ditiup dan dikipas-kipas bisa menyala di berbagai belahan dunia. 

Ikhtiar menjadi terang yang sanggup mengalahkan kegelapan sehingga perdamaian dapat tercipta adalah sesuai dengan amanat konstitusi kita yang harus kita jalankan bersama-sama di pentas dunia yang membentuk masa depan dengan membangun ruang dialog antar bangsa. Masyarakat harus bisa teryakinkan bahwa inti dasar beragama bagi manusia adalah untuk menciptakan kedamaian, keadaban, keseimbangan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, perlu melakukan transformasi logika, perluasan horizon pikir dan merawat harapan baru. Yakni dengan menguatkan kohesi sosial dalam bentuk toleransi, solidaritas dan juga apresiasi terhadap berbagai bentuk kegiatan dan kebijakan publik dalam setiap aspek kehidupan. Merawat harapan akan melahirkan ketenangan, harmoni dan optimisme.

Jika kita  membuka Alkitab, kita akan tercerahkan lagi bahwa berdamai adalah salah satunya sikap bijak  yang indah dan mulia, diungkap secara jelas dalam Sabda Bahagia “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).Tidak ada yang lebih penting daripada komitmen melakukan apa yang Tuhan Yesus sendiri lakukan, _Berdamai_. Perdamaian harus diusahakan. Firman Tuhan memerintahkan kita  mengajarkan solusi yang benar dan membebaskan yaitu, ” kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” ( Roma 12:18).

Kita mengenal apa yang disebut dengan, The Seven Cardinal Sins atau Tujuh Dosa Maut, yaitu kesombongan (pride), keserakahan (greed), amarah (wrath), iri hati (envy), hawa nafsu (lust), sifat rakus (gluttony), dan kemalasan (sloth).  Alkitab mencatat bahwa ketujuh dosa diatas adalah sikap yang sangat dibenci Tuhan. Banyak cita-cita, impian, rancangan, keiinginan berubah menjadi tekanan yang menyesakkan sampai semuanya terkubur bersama di hari kematian, Rest in Peace (RIP). 

Oleh karena itu, jangan biarkan tujuh dosa itu “bersarang” menjadi kronis dan menggerogoti hidup dan masa depan. Sebab, “Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik” (Amsal 16:29). Tetaplah rendah hati dan pembawa damai. “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Roma 14: 19)

Berpengharapan di tahun menantang menghendaki kita move on, menyambut yang baru, menanggalkan yang lama (masa lalu). Itulah harapan dan keyakinan bangsa ini. Menjaga nalar, optimistis, profesionalisme dalam penatalayanan jadilah pembawa damai bagi sesama. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru : yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5: 17). 

Setelah porak poranda karena pandemi covid-19 diperparah gejolak politik- keamanan, mulai dari Eropa hingga Asia Pasifik,pada akhirnya, kita harus mengambil langkah iman, bangkit dari keterpurukan menyalakan lilin perdamaian agar siap untuk bercahaya bagi sesama, di rumah, di kota, bahkan di bangsa dimana Tuhan tempatkan kita. Sebab, perang apa pun itu kita rasakan berdampak buruk bagi semua pihak. Bukan hanya bagi mereka yang berseteru, melainkan juga kepentingan politik, ekonomi dan bisnis. Perang jika terus berlanjut dapat merobek-robek tali ikatan kemanusiaan, keagamaan, dan kebangsaan yang telah terajut secara harmonis di atas pilar kesadaran kolektif untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama. 

Sementara itu, Tahun 2023 bagi Indonesia seperti diselimuti kabut ketidakpastian, PHK yang mengintai, disertai kekhawatiran atas luapan hasrat politik tak terkendali menyambut tahun politik 2023-2024 menjadi tantangan kohesitivitas sosial dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang mendera. Inilah saat yang tepat bagi kita untuk berdamai dan saling  bergandengan tangan satu sama lain, dan terikat tali ikatan kemanusiaan, keagamaan, serta kebangsaan yang inklusif dan universal. Pemahaman inti dasar menjaga nalar, merawat harapan dengan spritualitas yang tercerahkan. 

Kendati masih dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi global,kinerja investasi terus didorong agar lebih berdampak pada penyerapan dan kesejahteraan tenaga kerja lokal. Realisasi investasi tahun lalu melampaui target dan tumbuh 34 persen secara tahunan. Meski demikian, capaian itu didominasi padat modal. Minimnya investasi padat karya membuat target pencapaian lapangan kerja belum tumbuh sesuai harapan. Sektor padat karya harus mendapat perhatian khusus. Karena itu, pemerintah harus berupaya lagi menyeimbangkan investasi padat modal/teknologi dengan penciptaan lapangan kerja. Misalnya, pekerjaan konstruksi yang dapat menggunakan tenaga manusia tidak boleh digunakan mesin.

Sebab, efek ganda atau “spill over effect” yang dihasilkan oleh investasi bernilai tinggi belum berdampak pada penyerapan dan kesejahteraan tenaga kerja lokal. Dalam hal regulasi  itulah pemerintah membuat  keseimbangan baru  investasi yang tinggi sekaligus  menyerap tenaga kerja, dan inklusif (menyejahterakan rakyat secara berkeadilan). Perlambatan ekonomi disertai inflasi tinggi, kenaikan suku bunga, resiko geopolitik, telah mengubah lanskap perekonomian global, regional, maupun domestik.

Prinsip efisiensi yang selama ini menjadi dasar berlangsungnya ekonomi bergeser ke arah _resiliensi_. Konteks inilah yang membuat urgensi kebijakan ekonomi menjadi fokus ke arah kerjasama. Sejumlah langkah kerjasama diharapkan menjadi jembatan dalam meningkatkan kesejahteraan.

Optimisme ini bisa terwujud apabila seluruh elemen bangsa bisa mengendalikan pikiran, perasaan/ego dan kehendak yang harus ditaklukkan untuk menghasilkan ketenangan, harmoni dan keseimbangan. Kedewasaan, khususnya dalam melewati tahun politik 2023-2024, sangat diperlukan. Bekerja secara profesional dan bergotong royong dalam menjawab tantangan global. “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

(Selesai)

Related post