MENANTI UJUNG LANGKAH MENGATASI DEFISIT BERAS (BAGIAN 2)

 MENANTI UJUNG LANGKAH MENGATASI DEFISIT BERAS (BAGIAN 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Sudah enam bulan lebih harga beras naik dan tidak turun-turun, meskipun sudah ada operasi pasar. Ada pula ajakan dari pemerintah yakni mendorong masyarakat  mengonsumsi pangan beragam seperti sorgum, jagung, dan sagu untuk mengatasi defisit beras yang terjadi. Namun, ajakan tersebut tidak mendapat sambutan dari masyarakat. Sebab, ada anggapan seseorang baru disebut makan jika sudah menyantap nasi. Beras sudah seperti makanan superior. Alternatif pangan tanpa beras masih berkabut. Seperti diketahui, defisit beras yang terjadi menjadi alarm rapuhnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini. Sementara program food estate atau lumbung pangan yang digagas pemerintah di berbagai daerah, belum membuahkan hasil.  Bahkan, program Food Estate yang merupakan strategi ketahanan pangan nasional, hanya menjadi beban Anggaran di APBN namun belum mampu menahan laju impor. Fenomena itu tampak di beberapa tahun terakhir defisit beras ditutup dari impor beras dari Thailand dan Vietnam. 

Pemerintah sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan rakyat selayaknya proaktif melakukan tahapan program sebagai acuan rencana aksi (action plan) agar tidak terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Persoalan mendasar yang dialami sektor pertanian adalah makin berkurangnya lahan pertanian karena lahan makin banyak _alih fungsi_ dari pertanian menjadi permukiman dan lahan komersial lainnya.

Di sisi lain,produksi beras nasional berpotensi turun karena ada perubahan iklim yang berada di luar kendali produktivitas petani dan diperkirakan anjlok karena gagal panen sehingga harus mengimpor. Disamping itu, bahan pupuk selama ini bergantung pada impor sehingga harganya rawan bergejolak. Untuk itu, komitmen menyediakan bahan baku pupuk perlu diatasi dengan keberadaan Pabrik Pupuk Indonesia. Kalau perlu pabrik bahan pupuk itu bisa diperbanyak dan produksinya terus ditingkatkan.

Pemerintah harus mencari titik temu antara petani dan konsumen yang daya belinya sama-sama sedang tidak baik-baik saja yang dipicu kenaikan harga gas bumi tertentu  atau HGBT untuk subsidi produksi pupuk. Industri pupuk berharap harga gas tidak dinaikkan. 

Perlu adanya fleksibilitas Harga Pokok Produksi atau HPP Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG), dan beras. Tujuannya agar harga gabah tidak jatuh dan Perum Bulog bisa menyerap gabah untuk cadangan beras. Penyesuaian HPP ini diperlukan karena ada kenaikan sejumlah komponen biaya pokok produksi gabah. Kompleksitas pertanian yang kerapkali dilanda krisis pangan akibat rendahnya ketahanan pangan mempengaruhi komoditas lainnya, seperti cabai merah, bawang merah, daging ayam, daging sapi, dan telur juga menjadi mahal. Semua pihak terus meminimalkan dampaknya dengan memodernisasi pertanian sehingga surplus padi melalui revitalisasi selaras pelestarian ekosistem serta memastikan bahwa beras sebagai sumber kehidupan menjadi aset berharga yang dapat dinikmati semua orang, dari desa hingga kota tanpa pengecualian.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih 13.000 pulau dan memiliki populasi mencapai hampir 280 juta jiwa merupakan negara agraris yang sangat luas. Namun, Ahmad Tohari dalam novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang berlatar Banyumas, Jawa Tengah mengisahkan tentang tempe bongkrek. Makanan rakyat yang murah identik dengan kemiskinan itu, telah menyebabkan orang-orang Dukuh Paruk-termasuk ronggengnya- keracunan hingga meninggal. Seperti diketahui, tempe bongkrek biasanya dibuat dari ampas atau bungkil kelapa yang dicampur kedelai. Hal ini perlu dikritisi dan direnungkan.

Di lain pihak, pemerintah tidak bisa menjamin cerahnya masa depan petani. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa pertanian bukan sektor yang menarik untuk digeluti generasi muda. Sebab, sejarah menunjukkan pula menjadi petani hanya akan menjadi miskin dan kelak melahirkan generasi-generasi miskin. Jadi, sangat beralasan jika anak-anak muda tidak bersedia menjadi petani. Dampaknya, anak-anak muda berduyun-duyun menuju perkotaan yang menjanjikan peluang kerja untuk menjemput upah yang menggiurkan. Bahkan, kasus ferienjob  mitos, kerja mudah bergaji tinggi yang rentan penipuan menyasar lulusan baru (fresh graduate) turut menjebloskan mahasiswa dalam program magang bermasalah di luar negeri. Kasus ferienjob  seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah. Lalu, bagaimana strategi ketahanan pangan dapat ditegakkan di negara agraris ini? Alih-alih dapat memperkuat ketahanan pangan yang berlangsung saban hari justru kian rapuhnya etos kepetanian yang di masa lalu dipercayai sebagai fondasi utama ketahanan pangan.  Perubahan sistem dan proses bisnis di bidang pertanian, khususnya tanaman pangan merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi.  Penguatan sumber daya yang berperan dari mulai proses produksi yang efisien dan efektif, penanganan panen dan pascapanen, hingga stabilitas harga dibarengi dengan pembangunan agrobisnis dan argoindustri, perlu dilakukan dengan sangat serius. Kita tunggu pascapilres di Indonesia. Kebijakan yang realistis dan pragmatis membutuhkan peran serta modal dalam negeri dan asing untuk mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi 7 persen dan pemerataan yang diharapkan. Penciptaan lapangan kerja produktif dan pengalihan aset ke golongan miskin tetap diperlukan sebagai sarana efektif  untuk menciptakan pemerataan. Tentunya, pemerintah harus bisa menjamin cerahnya masa depan petani untuk bertahan sebagai petani dengan kembali memiliki kesetiaan pada alam kulturalnya.Karena itu,  revitalisasi selaras pelestarian ekosistem ke swasembada beras yang didambakan perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. (Bersambung)

Related post