Pembangunan Manusia, Kecemasan, Dan Harapan (Bagian 2)

 Pembangunan Manusia, Kecemasan, Dan Harapan (Bagian 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Menggali Pengetahuan dari Buku

Jalan menuju negara maju memang tak mudah. Dalam mengembangkan sumber daya manusia butuh proses utamanya lewat pengembangan literasi dengan menginvestasikan pada pendidikan yakni ilmu pengetahuan dan teknologi kita bisa membuka jalan bagi masa depan yang lebih cerah. Meski pada masa sekarang _informasi_ penyebaran berita lewat media sosial(medsos) sudah menjadi keniscayaan, media arus utama termasuk buku sebagai _transformasi_ pendidikan/ ilmu pengetahuan tetap dibutuhkan.

Banyak hal tersimpan dalam tulisan buku. Sebuah pola berpikir dan bertindak yang bersandar kepada eksistensi ilmuwan dan kekuatan  literasi buku didalam kaidah akademis. Masyarakat Yunani Kuno menganggap literasi buku adalah satu kebajikan yang penting. Itulah sebabnya banyak filosof lahir dari negeri tersebut. Selain itu, Alkitab Perjanjian Baru juga ditulis dalam bahasa Yunani. Meningkatkan keunggulan dalam menulis sebuah pola berpikir yang bersandar pada eksistensi keilmuan akan bermanfaat bagi pengembangan lanskap literasi global.

Hampir tak ada pemikir besar yang tidak menulis buku dari Adam Smith, Thomas Mannn, Tolstoy, Voltaire sampai Karl Marx. Thomas Mann dengan mengetengahkan mitologi dan masa lalu yang menentukan kekinian kita. Tolstoy mencoba menyibak  dimensi manusia yang fokus pada tidak rasionalnya sikap manusia dan keputusan-keputusannya. Dan karya besar, seperti La Princesse de Babylone (Putri Babilonia), karangan Voltaire (1768) beriringan dengan Adam Smith (1776) dan Karl Marx dengan Das Kapital, dengan sistem ekonomi Klasik dan sistem ekonomi yang unik dalam pemikirinnya tentang Komunisme.

Menulis buku populer di Indonesia sebagai agen sosialisasi dan edukasi di masa pra kemerdekaan dan mencapai puncaknya di dekade 1980-an. Sebut saja, Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Chairil Anwar, Armijn Pane, dan begitu banyak nama lainnya.

Sedangkan penulis era 1980- an sebut saja, Pramoedya Ananta Toer tampil dalam novel Bumi Manusia (1980) yang menyuarakan pentingnya penguatan pola pikir ini dengan mengatakan “adil sejak dalam pikiran” . Kutipan selengkapnya berbunyi, ” Seseorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Walau dilarang dan dibakar pemerintahan Orde Baru, novel itu dibaca khalayak luas hingga dicetak ulang 20 kali. Juga terbit dalam puluhan bahasa dunia dan difilmkan dari judul yang sama (2019). Buku yang diangkat menjadi Film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah contoh film yang menginspirasi anak-anak muda untuk berani bermimpi  mengubah nasib, dan mimpi inilah yang kemudian mendorong berbagai sikap untuk mau belajar dan bertindak untuk meraih cita-cita.

Namun, sejak lahirnya generasi X, Y, dan Z agen sosialisasi adalah media sosial (medsos)  menjadi guru bagi anak-anak yang membawa pengaruh buruk dan baik. Pengaruh buruknya medsos ternyata 

menjadi batu sandungan dan melibas

media arus utama Indonesia yang tak pernah naik kelas. Dan, akhirnya pertahanan jebol, Toko Buku Gunung Agung menutup gerainya sejak Mei 2023. Setahun terakhir Toko Buku Gunung Agung menghadapi sejumlah tantangan, seperti penjualan buku terus menurun, upah pegawai menggerus dan akibatnya merugi. Pemerintah terlihat abu-abu, tidak ada upaya mengatasi sejumlah batu sandungan ini, setidaknya untuk sedikit mengompensasi kerugian yang diderita pelaku usaha. Padahal, kita tahu dan sadar dari buku kita belajar ilmu, pengetahuan, keterampilan, etika, moral, integritas yang mampu mengangkat nilai-nilai kemanusiaan kita. Isu-isu itu, seyogianya dapat dipenuhi secara bersama/kolektif dengan mengapresiasi kehadiran Toko Buku, perpustakaan, dan pusat data serta menjamin ketersediaan taman literasi bagi masyarakat miskin. Namun, dengan ditutupnya Toko Buku diatas frasa “keseimbangan” itu menjadi terganggu. Mari kita  berpikir ulang, mengapa kita mengabaikan sedemikian banyak ancaman literasi, malah menjadi terbiasa dengan “ketidaknormalan” baru kita. Sudah sepantasnya untuk memeriksa persepsi kita sendiri yang semakin memburuk. Para penggerak literasi cemas menghadapi kenyataan ini, seyogianya elite politik negeri ini juga turut memikirkannya, setidaknya untuk mengisi pajangan rak buku dirumah mereka masing-masing. Sebab, tindakan penutupan Toko Buku berkepanjangan tidak boleh menyurutkan kita berpikir tentang nasib bangsa  jangka panjang.

Kita tidak boleh kehilangan pengharapan terutama terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan supaya literasi kembali bersinar. 

Kita mengetahui, bahwa kualitas buku memang menjadi salah satu indikator terpenting untuk mengukur bisa tidaknya diangkat ke layar lebar atau film. Tentu saja buku tak melulu tentang ilmu pengetahuan dan sejarah, tetapi juga tentang ajaran, novel atau manuskrip. Tidak mengherankan nama William Shakespeare muncul di urutan pertama. Ada sekitar 800 film diadaptasi dari karyanya. Sebut saja, Hamlet dan Romeo and Juliet sampai kini pun masih terus ditafsirkan ulang dalam berbagai film. Penulis Rusia Anton Chekhov menempati peringkat kedua, sekitar 300 film yang dibuat berdasarkan bukunya. Menyusul Charles Dickens, Edgar Allan Poe, dan Robert Louis Stevenson. Kompetisi film bergengsi dunia pun ditandai penganugerahan Academy Award atau Piala Oscar yang banyak mengangkat buku-buku yang mampu berdialog dengan zamannya.

Begitu juga dengan buku-buku Indonesia yang dikemas dalam format film. Adalah Max Havelaar buku yang terbit pada 1860 yang kisahnya abadi hingga kini ditulis Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli diangkat ke film oleh Fons Rademakers pada 1976. Kisah cinta masyarakat pribumi dituturkannya dalam tokoh Saijah dan Adinda, yang katanya mirip dengan roman Romeo and Juliet. Kemudian Ali Akbar Navis yang sebutannya AA Navis dalam karya novelnya yang paling terkenal, Robohnya Surau Kami (1955), telah melontarkan daya kritisnya terhadap mentalitas korup di masyarakat Indonesia. Nilai-nilai anti korupsi sudah tertanam dalam literatur dan sudah diwaspadai oleh AA Navis pada zamannya jauh sebelum KPK dilahirkan.

Buku-buku lainnya, Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari, Can Bau Kan karya Remy Silado, Negeri 5 Menara, karya Ahmad Fuadi, dan film biopic yang mengangkat tokoh politik Indonesia   Habibie & Ainun. Dan, masih banyak lagi kisah buku dari cerita rakyat sampai legenda urban telah diangkat ke dunia film. Pada Tahun 1977, ada film “Ali Topan Anak Jalanan” yang dibintangi Junaedi Salat dan Yati Oktavia, mencuri perhatian sekaligus mengharu biru jagat media masa. Ali Topan (Junaedi Salat) yang berasal dari keluarga mapan tapi kurang mendapat kasih sayang kedua orang tuanya, resah menemukan kehidupan menyenangkan mengebut di jalanan bersama motor trail tunggangannya. Seperti digambarkan dengan jacket kulit ketat hitam dengan pake helm yang menimbulkan sensasi yang ngetrend dan bergengsi serta  menjadi aktualisasi remaja kala itu.

Bandul ekonomi dunia yang bergerak dari Buku ke Film menjadi insentif bagi penulis untuk berkarya terus memenuhi ambisi untuk memulai tradisi bergengsi ini. Kepiawaian bertutur dalam ranah penulisan skrip dalam ajang supremasi film Indonesia membuat banyak buku best seller beralih ke film. Berbagai genre buku, mulai dari fiksi, misteri,novel hingga romansa membuat seseorang dari tidak siapa-siapa menjadi legenda. Jelas membuktikan bahwa buku masih dianggap sebagai hal yang meningkatkan peradaban manusia. Hipotesis ini menunjukkan bahwa seseorang yang menekuni bidangnya secara profesional membantu manusia bertahan hidup dan terselip harapan di kalangan pelaku dunia hiburan menjadi terkenal dan banyak pengagumnya. Apalagi jika bintang filmnya dalam mengekspresikan karakteristik yang sangat kuat berdasarkan  riset dan pengalaman akan mendorong penonton ke level yang lebih tinggi dan tercerahkan.

(Bersambung)

Related post