Pembangunan Manusia, Kecemasan, Dan Harapan (Bagian 1)

 Pembangunan Manusia, Kecemasan, Dan Harapan (Bagian 1)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Hampir semua pihak sepakat bahwa tingkat kemajuan dan kemakmuran bangsa sangat ditentukan oleh kemampuan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul dan berdaya saing.  Buku Adam Smith, The Wealth of Nations (1776) menjanjikan kecerdasan tinggi menjadi faktor utama bagi kemakmuran bangsa-bangsa. Sebaliknya, kecerdasan yang rendah berkorelasi dengan banyaknya penduduk yang hidup dalam kemiskinan multidimensi. Impian Indonesia sebagai bangsa yang maju pada 100 tahun kemerdekaan 2045 harus dimulai dengan komitmen dan kesadaran penuh bahwa kemakmuran bangsa ini hanya terwujud melalui pelunasan janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikhtiar untuk itu harus ditempuh melalui pembangunan manusia dengan unsur pendidikan dan kemajuan teknologi, produktivitas dan efisiensi sebagai penentu utama bagi kemakmuran bangsa. 

Lebih dari itu, berintegritas dan berwawasan,adalah jalan menuju kesana  melalui jalur pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi yang membutuhkan eksosistem literasi pustaka, riset dan inovasi. Semua itu membutuhkan komitmen kita dalam pembangunan manusia dan nilai-nilai budi pekerti adiluhung yang menjelma dalam keseharian kita. Dalam kaitan itu, komitmen dan anggaran menjadi sangat fundamental untuk mewujudkannya. Pembangunan mental dan dan karakter manusia tidak boleh diabaikan. Bagaimana pun juga, hakikat pembangunan manusia itu adalah usaha untuk meningkatkan kapabilitas kognitif yang dimulai dari kolaborasi literasi dengan pendidikan vokasi yang link match dengan dunia usaha dan dunia industry (DUDI) serta  pembangunan kualitas dan karakter merupakan keniscayaan dalam bursa kerja. Pada dasarnya hidup berkompetisi, bersaing secara alamiah, dan sehat dalam bursa kerja merupakan tantangan yang tidak bisa dihindari. Namun,sejumlah mitos negatif masih membelenggu watak masyarakat Asia dan Indonesia pada umumnya. Hal ini pernah disampaikan peraih penghargaan Nobel, Gunnar Myrdal pada buku berjudul “Asian Drama” pada tahun 1968. Melalui bukunya Myrdal ingin menyampaikan kultur manusia di Asia ialah sulit maju karena pengetahuan yang rendah, tidak berkarakter, dan miskin.

Sembilan tahun sesudahnya,yaitu pada tahun 1977,wartawan yang juga novelis Mochtar Lubis menulis pidato kebudayaan berjudul “Manusia Indonesia”. Dalam pidatonya ia menggambarkan manusia Indonesia dengan enam watak yakni, munafik, enggan bertanggung, berjiwa feodal, percaya takhyul, berkarakter lemah, dan berjiwa seni. Watak tersebut bertaut dengan kompetensi SDM untuk mengatasi persoalan yang dapat menghambat terwujudnya Indonesia menjadi negara maju.

Sudah menjadi rahasia umum, tingkat literasi Indonesia berdasarkan skor PISA masih sangat rendah.

Literasi di Indonesia adalah isu lama yang tidak pernah tuntas ditanggulangi. Selama ini belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah. Literasi perlu membangun keseimbangan baru dengan kemandirian relatif dan didukung regulasi yang menyehatkan ekosistem Toko Buku, Perpustakaan, dan Pusat Data. Sebab,sesungguhnya kebutuhan ekosistem literasi yang demikianlah sebagai penentu kemajuan negeri ini. Nalar yang jernih dan kritis adalah sebuah keniscayaan untuk bersatu patahkan belenggu mitos negatif, serta berkomitmen melakukan sesuatu yang terbaik bagi Indonesia.   Seiring perubahan global yang begitu cepat terjadi, pengembangan sumber daya manusia  harus seiring dengan arus perubahan. Namun, perubahan perilaku, kompetensi, dan keterampilan baru tersebut hanya terjadi jika ada perubahan pola pikir (mindset) Oleh karena itu, di saat perubahan terjadi, seharusnya literasi akan membuka cakrawala imajinasi ilmu dan seni, serta pola pikir tumbuh berkembang sesuai  dinamika perubahan. 

Inilah yang disebut Carol Dweck (2017) sebagai growth mindset (GM) atau pola pikir tumbuh. Orang yang memiliki GM umumnya yakin bahwa dirinya berubah, baik kemampuan, bakat, kebiasaan, bahkan IQ. Mereka pun lalu menjadi pembelajar sejati dan memiliki kegigihan dan passion yang kuat, yang oleh Angela Durkworth (2016) disebut grit. Umumnya, grit diperoleh ketika seseorang punya tujuan, harapan, minat, dan ikhtiar (Duckworth, 2017). Kesuksesan bukan terwujud hanya berbekal bakat (talent) semata, melainkan ditentukan oleh grit. Karya-karya esai mencakup sains, teknologi, sejarah, sastra, seni rupa, film dan berbagai aspek sosial- budaya lainnya; semuanya itu bermula dari pola pikir dan grit.  Pola pikir  dan grit yang menghidupan mimpi, imajinasi, dan cita-cita yang akan menjadi penentu eksistensi kita di masa mendatang. Hal itu tampak terlihat pada indeks pembangunan manusia,indeks inovasi nasional, tingkat literasi dan kemajuan kesehatan masyarakat. Namun,alih-alih   menghasilkan SDM unggul, skor dalam aspek membaca, matematika dan sains oleh Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2018 masih rendah dibawah 400 menunjukkan kecemasan, dimana rata-rata angka tingkat kecerdasan (IQ) anak Indonesia 78,49 sehingga berada di peringkat ke-72 dari 122 negara. Bandingkan dengan posisi negara jiran seperti Vietnam (21) dan Malaysia (38).

Demikian pula skor Human Capital Index Indonesia tahun 2020 adalah 0,54. Itu berarti produktivitas dari setiap anak yang lahir hanya 54 persen sehingga menempatkan Indonesia di peringkat ke-96 dari 173 negara. Rata- rata lama sekolah di Indonesia baru mencapai 9,08 tahun pada 2022, dan tingkat pendidikan pekerja Indonesia didominasi lulusan SD. Malah Global Competitiveness Report 2017-2018 dari Forum Ekonomi Dunia menyebut rendahnya etika kerja pekerja Indonesia. Hambatan tersebut harus diatasi agar cita-cita Indonesia menjadi negara maju dapat keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). Diperlukan upaya untuk meningkatkan kompetensi SDM, dengan strategi memperkuat pola pikir,memperkuat GM atau memiliki grit yang kuat agar menjadi energi bagi kemajuan bangsa di masa depan. Indonesia memiliki aset kuat untuk itu: pertumbuhan ekonomi, bonus demografi dan kepercayaan negara-negara lain ataupun organisasi internasional berinvestasi di Indonesia satu modal penting dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Kita bisa belajar dari sejumlah negara yang gagal dalam memanfaatkan bonus demografi tersebut, seperti Brasil dan Afrika Selatan, ataupun yang sukses seperti Jepang dan Korea Selatan. 

(Bersambung)

Related post