Hidup di dalam Kebenaran

 Hidup di dalam Kebenaran

Pdt. Josua Aritonang

Ibu Bapa dan saudara yang di kasihi Tuhan Yesus Kristus..!!!

Di mana seharusnya orang beroleh keadilan? Tentu di pengadilan, tempat perkara diperiksa dengan saksama, fakta dan bukti dipertimbangkan dengan hati nurani yang bersih, dan panduan hukum yang sah menjadi alat untuk menyatakan benar atau salah. Faktanya, banyak kasus menunjukkan pengadilan yang kotor: hukum diputarbalikkan. Yang benar menjadi salah, yang salah dibenarkan.

Dalam Teks kita hari ini, Apa yang Yesus alami di Mahkamah Agama Yahudi adalah pengadilan yang tidak adil. para imam kepala, tua-tua, dan ahli-ahli Taurat yang tahu dan menganggap diri sebagai “pengawal” Taurat justru menjadi orang-orang yang melanggar Taurat itu sendiri. Mereka menggunakan hukum dan tradisi sebagai senjata untuk menuduh, mengucilkan, dan membinasakan orang lain. Dalam konteks pengadilan Yesus pada pasal ini, Para pemimpin agama  memang sudah sejak awal memiliki motivasi mempersalahkan Yesus. Maka upaya mereka bukan mencari kebenaran, tetapi mencari-cari kesalahan. Cara demi cara dipakai: mendatangkan saksi-saksi palsu untuk menjerat Yesus dalam kesalahan yang tidak pernah Ia lakukan.  Mereka mencoba menjerat Yesus dengan perkataan-Nya mengenai bait Suci (ayat 58). Namun cukup dengan membungkam, Yesus melunturkan kesaksian palsu mereka. Sementara untuk dapat menjatuhkan hukuman mati, Mahkamah Agama memerlukan setidaknya dua orang saksi yang mengatakan hal yang sama (lih. Ul 17:6). Menariknya, inilah yang ditekankan Markus, kesaksian-kesaksian itu tidak cocok satu sama lain. Banyak orang yang mengucapkan kesaksian palsu, namun sekali lagi tidak sesuai satu dengan yang lainnya. Tak mudah menjatuhkan hukuman bagi Yesus karena ternyata sulit mencari dua kesaksian yang sama (55-59).

Saudara di dalam Kristus

Lalu atas tuduhan apa akhirnya mereka menghukum Yesus? Karena Ia menjawab pertanyaan Imam Besar tentang identitas-Nya (62-64). Yesus mengakui bahwa Dia adalah mesias. Jawaban Yesus sesungguhnya merupakan pernyataan bahwa hidup-Nya tidak tergantung pada kehendak imam-imam kepala, tua-tua, dan ahli Taurat, karena Dialah Mesias, yang duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa. Namun jawaban itu membuat Ia dituduh menghujat Allah dan dijadikan sebagai dasar hukuman mati. Selain itu bentuk pelanggaran hukum lain yang dilakukan oleh para pemimpin agama itu adalah tentang pelaksanaan hukum mati. Mereka segera mengumumkan dan melaksanakannya, padahal hukuman baru bisa diumumkan pada hari berikutnya, setelah hari pengadilan itu. Orang-orang yang menuduh Yesus menghujat Allah dan melanggar hukum justru menunjukkan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum dan menghujat Allah itu sendiri. Ironis bukan?

Jemaat yang dikasihi Kristus.

Dari proses pengadilan Yesus ini kita belajar tentang beberapa hal: pertama, apabila suatu upaya mencari suatu kebenaran dilakukan dengan suatu prasangka buruk, atau dengan perasaan benci dan dendam maka orang sulit melihat secara jernih suatu persoalan. Kedua, jika suatu upaya mencari suatu keadilan telah dicemari oleh suatu prasangka buruk terhadap sesama maka keadilan bisa dihempaskan lalu kebencian dan dendam dipandang sebagai suatu keadilan. Ketiga, Jadikan kisah ini sebagai cermin. Siapapun Kita , jangan pernah memutarbalikkan peraturan atau hukum untuk menjatuhkan orang lain atau bagi kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Berjalanlah lurus di atas prinsip-prinsip kebenaran -meski untuk itu ada hal yang harus Anda korbankan- karena untuk itulah kita dipanggil. *Hiduplah di dalam kebenaran dengan menjadi pelaku kebenaran sejati*.

Lindon Silalahi

Related post