Ulos Dalam Kekinian*

Dahulu orang beranggapan ulos digunakan untuk acara-acara sakral. Dalam acara pernikahan atau sejenisnya juga dalam acara kedukaan hanya corak dan warna yang berbeda.

Pada masa dahulu, orang tua, khususnya kaum bapak, melilit ulos selayaknya sarung dan kemudian disandang di bahu. Sedangkan kaum ibu menyelembangkan ulos menutup bagian dada.

Seiring berjalannya waktu, ulos saat ini digunakan di hampir setiap kegiatan. Bukan hanya dalam ritual adat istiadat, ulos pun digunakan dalam acara umum dan bahkan acara gereja. 

Pada pertemuan keluarga yang bersifat internal, semisal anak dibaptis, peneguhan sidi serta acara mangupa-upa (memberi suka cita karena terlepas dari bahaya), acara penyematan ulos selalu menjadi bagian utama.

Ulos juga berfungsi sebagai cinderamata bagi para tamu penting semisal pejabat yang berkunjung  ke daerah Batak atau ke komunitas Batak.

Maka di masa kini ulos menjadi multiguna. Bahkan corak Ragi Hotang atau Ragi Idup berkembang menjadi motif dan corak pakaian, semisal jas bagi kaum bapak dan sarung bagi kaum ibu.

Setelah Presiden Joko Widodo meresmikan Hari Ulos Nasional pada tahun 2014, ulos menjadi ikon bangsa Indonesia dan kebanggaan bagi suku Batak. Masyarakat beretnis  Batak menjadi terangkat secara ekonomi, bukan hanya dari pariwisata namun juga kerajinan ulos. Etnis Toba, Simalungun, Mandailing, Karo dan Pakpak seolah mendapat “berkah” melalui hasil kerajinan ulos yang menjadi komoditas bangsa. Para desainer termotivasi untuk membuat karya-karya yang lebih indah untuk mempercantik ulos dan membuatnya mendunia.

Tenunan Ulos diproduksi bukan hanya secara manual atau hand made, namun berkembang menjadi industri menggunakan mesin tenun.

Maka sepatutnya kita bersyukur memiliki ulos sebagai bagian budaya kita. Kita sepatutnya bangga dengan kekayaan  tenunan Nusantara.

Mari kita lestarikan dan cintai ulos sebagai kekayaan budaya yang Tuhan anugerahkan bagi kita.