Relasi Sungai dan Air dalam Menuntun Peradaban Bangsa (Bagian 3)

 Relasi Sungai dan Air dalam Menuntun Peradaban Bangsa (Bagian 3)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Isu Krisis Iklim, Lingkungan Hingga Keberlanjutan

Dampak perubahan iklim pun kini dirasakan masyarakat, seperti pergeseran musim hingga bencana hidrometeorologi yang kian sering terjadi. Penduduk bumi masa depan pun menghadapi ancaman kualitas udara dan air bersih. Kenaikan suhu bumi juga dikhawatirkan menimbulkan penyakit baru. Saat ini,kondisi bumi semakin panas akibat emisi gas rumah kaca ( GRK),cuaca ekstrem merajalela. Emisi GRK mengakibatkan pemanasan global sejak zaman Revolusi Industri.

Di satu sisi terjadi kemarau panjang seperti di Afganistan, dan Benua Afrika yang mengakibatkan bencana kelaparan. Di sisi lain, belahan dunia seperti India, Pakistan, Australia dan Asia Pasifik digempur hujan terus-menerus. Rumah, tanah pertanian, harta benda, dan berbagai tempat usaha lenyap di sapu air, akibat banjir bandang. Meski bencana ekologis semakin masif, sejumlah pihak belum terlalu fokus menyoroti isu ini, termasuk media. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan media dan jurnalisme investigasi serta kajian yang kuat untuk menyuarakan isu ini sehingga dapat membuat perubahan yang signifikan.

Dalam memandang ancaman itu, pemanfaatan sungai di Indonesia harus dilakukan secara arif dan bijak. Transformasi Indonesia lewat konservasi sungai bertujuan menciptakan nilai tambah dan produktivitas untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Pasar Terapung di Sungai Martapura, Kalimantan Selatan,misalnya, mengangkat tradisi ekonomi kerakyatan dan pengembangan budaya Sungai. Suku Banjar yang tinggal di daerah aliran Sungai Martapura, sejak dulu terbiasa melakukan aktivitas di sungai,mulai dari mandi, mencuci hingga berdagang. Sungai juga menjadi sarana atau jalur transportasi yang masih dilestarikan hingga sekarang. Karakter budaya dan kearifan lokal suku Banjar yang berlangsung secara turun-temurun layak dipertahankan dan diwariskan ke generasi betikutnya untuk mempromosikan pariwisata Kal-Sel melalui pasar terapung di Sungai Martapura.

Di sisi lain,pemanfaatan Sungai Citarum yang membentang dari Jawa  Barat hingga DKI, Jakarta punya peran luar biasa. Daerah aliran sungai (DAS) Citarum menjadi sumber 80 persen kebutuhan air minum DKI, Jakarta. Sungai Citarum merupakan penyedia irigasi bagi 420 ribu hektar area persawahan di wilayah Cianjur dan Karawang. Selain itu, sungai ini menjadi penyangga energi listrik sebesar 1.888 megawatt untuk Jawa dan Bali.

Sayangnya, pencemaran dan kerusakan DAS terus terjadi, terutama sejak industrialisasi gencar dilakukan di sepanjang DAS Citarum. Okupasi di DAS yang terus berlangsung meminggirkan prinsip ekologi dan merusak lingkungan. Normalisasi Sungai pada Kali Ciliwung, Kali Sunter Cipinang Melayu, Kali Angke, Kali Jatikramat, Kali Pesanggerahan, Kali Krukut, dan lainnya harus ditindak lanjuti di lapangan. Kalau tidak, akan merusak ekologis dan kualitas air dan ancaman serius bencana banjir yang mendera. 

Sungai Citarum menjadi salah satu penyumbang sampah plastik terbanyak di negeri ini yang mencemari lautan. Sampah laut ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan sungai dan masa depan manusia. 

Penyebab tingginya sampah laut ini karena infrastruktur pengelolaan limbah yang kurang baik dan minimnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah. Harus ada pendekatan yang holistik dari hulu hingga hilir untuk mengatasi sanpah laut, termasuk pendekatan yang dapat mengubah pola konsumsi dan produksi dari produk yang dapat menghasilkan sampah plastik. Sejumlah studi terbaru menyebutkan, 80 persen sampah laut berasal dari daratan dan 20 persen lainnnya berasal dari limbah kapal.

Mengutip data Forum Ekonomi Dunia (WEF) 2016 mengatakan, 32 persen sampah plastik telah mencemari lingkungan. Hanya 16 persen yang didaur ulang. Sebanyak 14 persen dari sampah tersebut diakar dan 40 persen menumpuk di TPA dan TPS. Untuk itu, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan semua pelaku, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, hingga akademisi, untuk membangun ekosistem pembatasan plastik sekali pakai. Produksi plastik dan pembuangan sampah plastik tidak hanya berdampak pada lingkungan, melainkan juga berkontribusi pada krisis iklim. Pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pun belum optimal.

Kombinasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim menjadi ancaman bagi keberlangsungan sungai dan perlindungan hutan. Menyempitnya hutan dan cuaca yang tak menentu menurunkan ketersediaan air dan ikan di sungai 

Perubahan  lingkungan disebabkan berkurangnya areal  hutan membuat hasil madu dan sarang burung walet, sayur dan buah-buahan makin berkurang. Kerusakan hutan berkontribusi terhadap penurunan hasil hutan. Diperparah adanya alih fungsi lahan dan perambahan membuat tutupan hutan terus berkurang. Dampaknya, bencana ekologis dan konflik satwa kian marak.

Bumi mengalami banyak masalah, karena kecerdasan spritual dan kearifan lokal yang membimbing kita ratusan hingga ribuan tahun mulai pudar. Ajaran masa lalu yang saat ini masih relevan, seperti kegotong royongan, keguyuban dan kearifan lokal masyarakatnya seyogianya bersanding dalam proses spritual yang dibangun dalam upaya menjaga pemulihan bumi secara utuh. Jadi, tak ada pilihan yang paling bijaksana, selain merawat daya dukung bumi untuk kehidupan manusia yang berkelanjutan. 

Di tengah tantangan global yang kian meningkat, Indonesia selaku Presidensi G-20 perlu berperan mendobrak kisi-kisi dinding pembatas demi mengatasi krisis iklim tersebut. Jalan yang mesti ditempuh adalah mempererat kerjasama global.

Meneliti kompleksitas sungai dan penyediaan air minum sehat memerlukan kerjasama dan tanggung jawab bersama.  Kita berharap kerjasama untuk menyelamatkan hutan, lingkungan, serta  konservasi sungai dan air minum sehat mendapat dukungan banyak pihak. Isu krisis iklim, lingkungan hingga keberlanjutan terletak di komitmen setiap negara merupakan langkah yang tepat dan strategis. Kerjasama tetap disadari sebagai satu-satunya jalan keluar. Itulah yang harus terus diupayakan sebagai kebangkitan peradaban bangsa yang lebih menumbuhkan orientasi ke depan daripada romantisisme kejayaan peradaban masa silam. Dan, Forum G-20 memberi ruang terbuka untuk tujuan itu.

(Selesai)

Related post