PRAESES DKI JAKARTA SUARAKAN HENTIKAN PERUSAKAN LINGKUNGAN (Seminar Kedua: Selamatkan Tano Batak Lestarikan Danau Toba.)

PRAESES DKI JAKARTA SUARAKAN HENTIKAN PERUSAKAN LINGKUNGAN
Panitia Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup, menyelenggarakan seminar kedua di HKBP Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (26/7/2025). Kegiatan ini dilaksanakan sebelum aksi puncak doa bersama, pada 18 Agustus mendatang di Tugu Proklamasi, Jakarta. Menyuarakan solidaritas terhadap masyarakat Batak yang menjadi korban perampasan tanah adat dan pelanggaran HAM akibat operasi PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di Tano Batak.


Pdt. Oloan Nainggolan, S.Th., Praeses HKBP Distrik VIII DKI Jakarta, dalam seminar ini menegaskan, “Bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan. Sebab itu, menyuarakan penghentian segala upaya yang merusak lingkungan adalah seruan iman.”

Lebih lanjut, Pdt. Prof. Septemmy E. Lakawa, Th.D., dari Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta menerangkan, “sebagai masyarakat Batak, Danau Toba harus dilihat dalam dimensi yang lebih kompleks, akibat manusia yang terhisap akibat industri-industri ekstraktif di sekitar Danau Toba. Jika Tanah Batak hilang, tidak relevan lagi menyebut identitas sebagai masyarakat Batak Toba.” Dia menerangkan, bahwa tidak ada keadilan sosial tanpa keadilan ekologis. “Dalam kitab Kejadian yang sangat agraris, relasi antara manusia dan tanah adalah relasi kekudusan,” paparnya. “Sebab itu, pekerjaan yang dilakukan di atasnya, harus memiliki nilai spiritual bagi ekonomi yang baik. Bukan ekonomi kapitalis seperti PT. TPL,” tegasnya.

“sebagai masyarakat Batak, Danau Toba harus dilihat dalam dimensi yang lebih kompleks”.
Sementara itu, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menerangkan, bahwa relasi-relasi yang menentang kapitalisme sudah ada dalam petani dan masyarakat adat di Indonesia, termasuk masyarakat Batak. Setidaknya terdapat 119 Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA) dan 54 Badan Usaha Masyarakat Adat (BUMMA) yang dapat membantu masyarakat adat keluar dari kemiskinan. “Pemerintah seharusnya menghentikan perampasan tanah adat yang dijadikan investasi PT. TPL. Itu berarti melepaskan ketergantungan pada investor skala besar yang selama ini hanya mengeruk dan merusak kekayaan alam dan bertindak tidak adil pada rakyat Indonesia,” pungkasnya.

Selanjutnya, Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan, bahwa perampasan wilayah adat dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan PT TPL ini bertentangan dengan Konstitusi. Utamanya Pasal 33 (3) UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). “Dalam UUPA, tercitra teologi tanah dan lingkungan, bahwa tanah tidak sekedar komoditas ekonomi, harus menghormati hak asal-usul tanah dan menolak monopoli tanah,” terangnya.

Sejalan dengan itu, Supardy Marbun, pensiunan Kementerian ATR/BPN menambahkan, bahwa negara harus melaksanakan konstitusi yang mengatur pemenuhan hak masyarakat adat atas tanah mereka.

Menyusul kemudian, Bhima Yudisthira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menerangkan, bahwa petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, berpotensi mengembangkan ekonomi yang maksimal di tempat mereka berada. “Karena itu, hilirisasi industri yang didorong bukan seperti TPL, tetapi hilirisasi yang memperkuat peran-peran rakyat dan berbasis ekonomi lokal,” tegasnya.

Seminar ini merupakan diskusi kedua dari rangkaian kegiatan Doa Bersama Merawat Lingkungan Hidup. Kepanitiaan dibentuk sesuai SK Ephorus HKBP. Merespons perampasan tanah dan pengrusakan lingkungan akibat operasi TPL di Tano Batak. “Karena itulah kita harus terlibat dalam ‘Selamatkan Tano Batak, Lestarikan Danau Toba’ yang menjadi tema diskusi,” kata St. Dr. Leo Hutagalung. Aksi puncak akan dilaksanakan pada 18 Agustus 2025 di Tugu Proklamasi. “Serentak bersama jemaat HKBP di Distrik Jakarta, Bekasi, Deboskab, dan Banten, serta berbagai komunitas,” tambahnya.

Agenda ini diinisiasi Gereja HKBP bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) dan Yayasan Forum Adil Sejahtera (YFAS). (red)



