Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Merespons Dinamika Zaman (Bagian 2)

 Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Merespons Dinamika Zaman (Bagian 2)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Menghadapi Aneka Goncanganl Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi 4,87 sangat rentan terhadap guncangan eksternal, terutama karena neraca perdagangan masih bergantung pada ekspor komoditas mentah. Karena itu, perlu merespons kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump dengan bijak. Jangan sampai membuat investor yang telah menanamkan investasinya menjadi kalah bersaing dan rugi.

Aransemen ekonomi global berubah, demikian juga lanskap ekonomi domestik yang selama ini ditopang  ekspor komoditas pertanian, kontribusi manufaktur dan deregulasi pertambangan turut berubah. Seiring berjalannya waktu,lapangan kerja pertanian cenderung menurun, sedangkan jasa yang terutama bernilai tambah rendah tumbuh. Pergeseran ini mengkhawatirkan, sebab itu berarti transisi ke sektor  industri, bernilai tambah tinggi berjalan lambat atau tidak memadai.

Ada potensi perlambatan ekonomi yang dipredikasi masih akan berlanjut di triwulan-triwulan berikutnya. Melemahnya daya beli, menyusutnya jumlah kelas menengah, dan gelombang PHK menjadi penyebabnya. 

Namun,Indonesia tetap membutuhkan pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen jadi rujukan pembangunan karena setiap satu persen saja pertumbuhan ekonomi Indonesia setidaknya menyerap 400.000,- lapangan kerja baru.

Pertanyaan yang muncul kemudian, sektor apa yang paling efektif?

Indonesia dalam menyerap lapangan kerja  adalah sektor pertanian dan perdagangan serta sektor manufaktur menempati peringkat ketiga. 

Manufaktur menyumbang setidaknya 33 persen dari total 40,6 persen pekerja formal atau sekitar 19,6 juta orang. 

Selain strategis, sektor manufaktur juga dominan sebagai sumber devisa dan pencetak pekerja terampil. 

Antisipasi masalah baru

dampak berlanjutnya perang dagang atau trade war antara AS dengan China yang memengaruhi 145 negara mitra dagangnya turut mebuat kebijakan ekonomi global  mengalami ketidakpastian.

AS mendukung globalisasi mekanisme pasar neoliberal dengan mengambil posisi “America first” sementara tantangan China yang karena modal melimpah mampu menjalankan Belt and Road Initiative-nya hingga ke benua Afrika. Sementara Indonesia, sedang sibuk dengan suatu proyek yang dapat disebut resentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik, sebagaimana terlihat dengan dibentuknya BPI Danantara, yang memungkinkan akses dan kuasa terhadap sumber daya negara yang jauh lebih terpusat, berbeda dengan awal masa reformasi.

Selain itu,dunia  menghadapi krisis sosial dan konflik bersenjata yang tak kunjung usai. Saat perang Rusia-Ukraina dan konflik Israel-Palestina terus memanas, titik panas muncul di perbatasan India-Pakistan,serta ancaman setiap saat akibat sengketa wilayah di Laut China Selatan. Begitu pula dengan dinamika perang dagang,serta ketidakpastian penurunan suku bunga oleh Bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) mengakibatkan ketidapastian.

Kondisi ini berdampak terhadap pasar tenaga kerja nasional pun menghadapi tantangan berat. Resiko ini juga mencakup nilai tukar rupiah berisiko kembali tertekan, antara lain, akibat kebijakan permintaan dollar AS seiring repatriasi dividen, dan pembayaran utang luar negeri.

Mayoritas lembaga, termasuk Bank Dunia dan IMF, melihat Indonesia akan kesulitan mengejar mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen. Ada yang terlupakan dari hiruk-pikuk rencana investasi kita, yakni  untuk pengembangan sains, teknologi dan inovasi, khususnya yang mendukung sektor industri.

Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan besar: turbulensi global, ancaman stagnasi, dan ketimpangan sosial. Situasi ini sangat serius untuk direspons dengan 

transformasi SDM yang menuntut setiap orang untuk memperlengkapi diri untuk semakin piawai dalam melakukan pekerjaan dengan kompetensi dasarnya. 

Pantarhei!, – terus bergerak, dan semuanya mengalir, kata Heraclitus, sang filsuf Yunani Kuno.

Pasar berubah dengan cepat dan perlu direspons dengan cepat pula. Keterampilan beradaptasi atau responsif terhadap persaingan menuntut agar “terus bergerak” dengan arah yang pasti.

Proses pencapaiannya tidak mudah, harus siap belajar mencoba hal baru, komunikatif, dan kolaboratif. Faktor pendidikan dan pelatihan menjadi kunci utama dalam menyiapkan SDM berkualitas.

Harus diakui, abad ke-21 ditandai oleh kemajuan dan lompatan ekonomi, diantaranya karena kedalaman pengetahuan dan teknologi. Kini, resep suatu negara menjadi maju ialah mendorong kemajuan berbasis pengetahuan (science-oriented) dan berbasis teknologi (technological-oriented), untuk menghasilkan produk hasil kolaborasi riset dan inovasi yang link and match dengan dunia usaha/industri. 

Beberapa negara sudah membuktikannya seperti AS, Jerman, Swiss, China, Jepang dan Korea-Selatan.

Produktivitas dan teknologi dipenuhi agenda transformasi digitalisasi agar efisiensi menjadi kenyataan dari praktik produksi. 

Literasi digital telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan perluasan pasar global. Manfaatnya berkontribusi pada persaingan antarnegara untuk menarik modal, investasi, produktivitas dan perkembangan teknologi informasi, otomisasi, dan percepatan teknologi.

Dengan karakteristik bermantra utama Neoliberal yakni, berorientasi pada mekanisme pasar. Adapun mekanisme pasar adalah mekanisme “alamiah” karena kekuatan permintaan dan penawaran yang keseimbangannya digerakkan oleh oleh “sebuah tangan tidak terlihat” (An Invisible Hand, Adam Smith, 1776) apalagi jika terkait dengan perdagangan internasional. Mekanisme pasar juga bertransformasi pada peningkatan  daya saing (competitiveness) dalam jaringan pasokan global (supply chains), dunia diperkenalkan dengan narasi “best practices”.

Istilah ini dulunya dipahami sebagai kebijakan progresif atau egaliter, tetapi kini bertransformasi merujuk pada kebijakan yang mampu menurunkan biaya operasi korporasi, meskipun terkadang dengan praktik tidak adil. Bertolak dari deregulasi pasar kerja, race to the bottom (perlombaan tanpa akhir menuju titik terendah) dalam menarik investasi asing. 

Banyak negara melonggarkan regulasi ketenagakerjaan, menekan upah melalui sistem kerja kontrak (outsourcing), atau “kerja demi gaji”, bahkan tanpa kejelasan status yang rentan dan tidak pasti.

Dalam lanskap karakter industri saat ini pada hakekatnya merupakan era memperluas penggunaan teknologi dalam meningkatkan efisiensi produksi. Transformasi teknologi kini telah mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan. 

Di lain pihak,sulitnya Indonesia beranjak ke pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi salah satunya disebabkan pengaruh kelompok elite dan atau oligarki. Kelompok elite mencari hak istimewa dari negara, berburu rente ekonomi, dan minta perlindungan khusus. Implikasinya, lalu terbangun _kolusi_ kuasa negara dan pengusaha secara tertutup sehingga membuat ekonomi menjadi kurang fleksibel, lebih tak efisien,dan lambat berinovasi.

Kelompok elite yang terorganisasi dapat mendominasi  kebijakan demi keuntungan mereka, sementara masyarakat umum ditinggalkan karena tak punya akses terhadap kekuasaan atau pengambil kebijakan.Akibatnya, pertumbuhan ekonomi akan mengalami stagnasi dan melambat.

Sebuah narasi buruk pun terbentuk, pekerja Indonesia, tinggalkan sawah demi jadi pekerja informal dalam negeri, dan jadi pekerja migran di luar negeri. Praktik kerja tak layak di sektor pekerja migran telah berlangsung selama bertahun-tahun dan cenderung luput dari perhatian. Kita hanya berkutat pada  budaya transaksional, tetapi tidak bergerak menjadi budaya transformasional. 

Disinilah pertumbuhan ekonomi harus dimaknai ulang: penguatan sektor UMKM, digitilisasi ekonomi lokal, dan ekosistem  wirausaha harus menjadi prioritas. Dalam konteks  ketahanan pangan dan energi pemerintah agar fokus pada diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan  pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan. Seperti dikatakan Joseph Stiglitz (2023), pertumbuhan yang hanya menguntungkan kelompok elite/oligarki justru akan memperbesar ketimpangan dan merusak kohesi sosial. Karena peran negara yang kuat adalah memastikan pemerataan dan keadilan sosial serta dibarengi pentingnya tata kelola yang baik/profesional, transparansi, dan akuntabilitas.

Kemajuan bangsa terbentuk jika  ditopang keterampilan (skilled) produktivitas dan penguasaan teknologi. 

Dalam kamus Cambridge, kata “produktif” memiliki arti menghasilkan sesuatu yang baik dengan dampak yang besar atau jumlah yang besar. 

Bahasa ekonomi dunia diisi habitus pengetahuan yang mengkonversi bahan baku menjadi produk olahan dan barang jadi disebut Nilai tambah (value added). Nilai tambah diperoleh dari injeksi teknologi dan inovasi sehingga barang atau jasa bernilai tinggi tercipta. Hampir semua negara maju seperti AS, Uni Eropa, China, Rusia, Korsel, dan Jepang seluruhnya bersumber dari kreasi nilai tambah.

Negara yang memanfaatkan teknologi melambung ekonominya dan negara yang lamban menyesuaikan  akan memperoleh getah ketidakpastian.

“Qui se ressemble s’assemble”, demikian bunyi peribahasa Perancis yang diartikan dalam pepatah bijak Indonesia menjadi, “Burung yang sama bulunya, berkumpul di dahan yang sama”.

Peribahasa itu merefleksikan kesamaan Indonesia dengan negara-negara BRICS (Brazil, Rusia,India, China dan South Africa). 

Di tengah perang dagang global perhatian kepada alternatif-alternatif kerjasama ekonomi meningkat. Fenomena ini terlihat pada kemitraan Indonesia pada BRICS dan anehnya sedang menjajaki juga keanggotaan Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Mengikat kerjasama ekonomi   terhadap kedua lembaga di atas guna mendorong pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Mengingat manfaat ekonomi yang dihasilkan pada reputasi perdagangan ekspor-impor Indonesia yang berpotensi mendatangkan devisa bagi negara karena dibutuhkan dalam perdagangan internasional, perlu kehati-hatian merespons peran kedua lembaga ini dakam menghadapi eskalasi risiko global.

Hilirisasi sebagai jangkar investasi dimaksudkan  sebagai jalur meningkatkan nilai tambah merupakan strategi yang dipraktekkan selama ini tidaklah cukup. Menekankan sistem innvestasi berbasis kehati-hatian, dengan fokus pada sektor produktif seperti ketahanan pangan, energi dan manufaktur teknologi. “Focus on being productive instead of busy”- Fokus untuk menjadi produktif daripada sekadar sibuk. 

Kasus-kasus premanisme bukti ruang gelap ketakutan para investor di Indonesia. Aksi premanisme ini tidak hanya lekat pada citra ormas yang berwatak pemeras, tetapi juga yang dilakukan kelompok kerah putih (oknum aparat desa/ pemda/penegak hukum) yang menyalahgunakan kewenangan. Masalah gangguan keamanan yang dialami dunia usaha ini mestinya ditindak dengan tegas agar reputasi Indonesia terjaga sebagai negara yang serius mengembangkan industrinya.

Pertumbuhan ekonomi harus berdampak positif bagi produktivitas nasional jika diiringi perbaikan kualitas sumber daya manusia(SDM)-nya.

Pelbagai terobosan kebijakan pertumbuhan ekonomi pun telah diambil Presiden Prabowo Subianto dengan menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang regulasi yang mengatur pemerintah mengutamakan pembelian produk dalam negeri (PDN) degan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang dinilai akan memperkuat perlindungan terhadap industri dalam negeri.

Dalam Pasal 66 Perpres No 46/2025 disebutkan bahwa pemerintah wajib memprioritaskan belanja produk yang memiliki TKDN dan produk dalam negeri (PDN) lebih besar dibandingkan produk impor. Melalui kebijakan ini, industri nasional dapat terlindungi dari tekanan perdagangan, baik di level domestik maupun global.

Fakta menyedihkan yang kita hadapi saat ini adalah banyaknya perdagangan ilegal dari mulai barang dan jasa, hingga  pekerja migran, dan perdagangan orang ke luar negeri. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya menggaungkan investasi dan meraih devisa yang banyak, tetapi juga meliputi sisi moral dan spritual masyarakatnya. Semua itu harus dimulai dari perbaikan kualitas orang- orangnya.

Ini sangat penting kita pahami, karena di persada Indonesia yang kita cintai ini,setiap agama, mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang menuntun pada pencapaian kesentosaan dan ketenteraman bagi masyarakat. Implementasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama memiliki peranan signifikan dalam menjaga kestabilan bangsa dan negara. 

Ada banyak fenomena sosial yang bisa kiranya dijadikan sebagai indikator keluhuran bangsa. Beberapa diantaranya pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, keharmonisan di tengah perbedaan, termasuk kepedulian terhadap pelestarian lingkungan.

Di lain pihak, kriteria bangsa yang luhur digambarkan oleh pemimpin yang melayani servant leader Melayani bukan Dilayani.”Anak manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang (Matius 20:28) yang mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan bijak. Bijak dalam mengatur setiap urusan demi kesejahteraan rakyatnya serta adil dalam penegakan hukum yang berlaku. Kehadiran pemimpin seperti itu, akan menjadi alat Tuhan untuk memberikan kedamaian, kesejahteraan bagi banyak orang.

Demi mewujudkan itu semua, peranan pemerintah sebagai pengampu kebijakan memiliki andil yang sangat menentukan lewat berbagai putusan kebijakan yang dirumuskan. Diikuti upaya kolaboratif di antara pemimpin dan rakyatnya menjadi syarat mutlak agar dapat mengelola dampak dan memetik peluang guna terciptanya bangsa dan negara yang luhur.

Berebut cari kerja, badai PHK terus melanda, telah melahirkan pasar kerja dan perdagangan nasional dan internasional dalam menghadapi aneka goncangan ekonomi. 

Demi meraup keuntungan yang lebih besar di pasar dunia pasar kerja, pengusaha/investor tak segan merekrut tenaga kerja yang paling murah, dari mana pun asalnya. Kita pun tahu untuk pasar kerja nasional, dari mana tenaga-tenaga kerja itu berasal. Yakni, dari pulau-pulau miskin sepertj pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan daerah-daerah miskin di seantero negeri. Nestapa mencari kerja menjadi buruh pabrik, asisten rumah tangga/ ART. Mereka rela bekerja  apa saja,bertarung hidup demi keluarga. Bahkan, mereka menjadi pekerja migran(legal & ilegal), bertarung demi mengirim uang kepada keluarga di pulau-pulau yang terlupakan. Kesenjangan nyata muncul jika dilihat antarpropinsi.

Kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja saling terhubung dalam siklus yang memperburuk satu sama lain.Tanpa penciptaan lapangan kerja, orang miskin semakin tertekan beban  hidupnya, sementara kekayaan segelintir orang juga terus meningkat sehingga pertumbuhan ekonomi  8 persen menjadi sebatas angan/ mimpi yang jauh dari kenyataan.

Karena itu,agar supaya Indonesia keluar dari jebakan labirin kemiskinan, perbaikan demokrasi memerlukan operasi yang sangat kompleks, diantaranya komitmen pemerintah dan aktor politik untuk membentuk budaya politik yang demokratis dalam banyak dimensi. Menurut The Economist Inteligence Unit 2025, Indeks Demokrasi Indonesia memperoleh skor 6,44 dari skala tertinggi 10. Berdasarkan skor itu, Indonesia berada dalam kategori demokrasi cacat. Dengan kondisi seperti ini, demokrasi kembali meraih kondisi idealnya dengan sosok pemimpin yang dapat menjadi contoh teladan, dengan mengedepankan meritokrasi dan juga menghindari pemimpin yang lahir dari lingkaran dinasti.

(Bersambung)

    Related post