Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Merespons Dinamika Zaman (Bagian 1)

 Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Merespons Dinamika Zaman (Bagian 1)

Penulis: Drs. Tumpal Siagian. Warga HKBP Duren Sawit

Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 (delapan) persen sebagai maklumat pemerintahannya pada Kabinet Merah Putih periode 2024- 2029. Setelah menambah portofolio kementerian/lembaga, Kabinet Merah Putih diisi oleh lebih dari 100 menteri/wakil menteri.  Gerbong Kabinet Merah Putih ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah pascareformasi. Terdiri dari 7 menteri koordinator, 41 menteri, 5 kepala lembaga,56 wakil menteri. Membawa visi besar, “Bersama Indonesia Maju: Menuju Indonesia Emas 2045”. Selain target pertumbuhan ekomomi 8 persen, sejumlah kebijakan strategis lainnya, seperti makan bergizi gratis (MBG), program 3 juta rumah setahun, pembentukan Koperasi Merah Putih, hingga pembentukan badan pengelola investasi/BPI Danantara.

Untuk mewujudkannya, pemerintah telah menetapkan 8 (delapan) misi utama yang tertera dalam Astacita.

Penyerapan tenaga kerja merupakan faktor penting dalam mencapai target 8 persen pertumbuhan ekonomi di mana sektor pertanian menjadi nomor wahid penyerap tenaga kerja, diikuti sektor perdagangan, dan sektor manufaktur. Sayangnya,sektor pertanian ini justru dinilai paling banyak membutuhkan pembenahan kerja merespons dinamika zaman,agar dapat mengembangkan strategi kebijakan reformasi pertanian berkelanjutan. 

Jika dibedah visi atau mimpi Presiden Prabowo dengan Kabinet Merah Putih-nya melampaui pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan dekade sebelumnya (2014-2024) yang berkisar rata-rata sekitar 5,1 persen.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 8 persen, sektor industri harus tumbuh minimal 20 persen/tahun (tahun dasar 2024) atau menciptakan nilai tambah (value added). Hal ini disertai anggapan sektor-sektor non-industri akan tumbuh 5 persen dan kontribusi sektor industri pada 2024 sesuai data BPS, 19 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan asumsi tumbuh 20 persen secara rerata, maka kontribusi sektor industri akan menjadi 31 persen dari PDB pada akhir 2029

Pemerintah telah mendukung industri untuk membangun hilirisasi sumber daya alam (SDA) seperti nikel, minerba dengan berbagai program diantaranya status proyek strategis nasional/ PSN, BPI Danantara, terus dimunculkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 8 persen. 

Namun, pada beberapa bulan terakhir perhatian publik tersedot dalam urusan ekonomi, yakni lesunya konsumsi masyarakat yang memengaruhi perlambatan pada pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin terbebani oleh bayang-bayangmeningkatnya jumlah penganggur berpotensi menimbulkan kegelisahan di masyarakat.

Perekonomian ternyata belum bisa bernafas lega, bahkan “bernafas dalam lumpur” seperti judul film zaman baheula. 

Untuk menambal target defisit APBN, pada tahun 2025 yang sebesar Rp 616,2 triliun atau setara 2, 53 dari produk domestik bruto (PDB), pemerintah sudah merealisasikan penarikan utang baru senilai Rp 250 triliun dalam tiga bulan pertama tahun ini. 

Sementara pada Tahun 2025 ini juga pemerintahan Presiden Prabowo harus membayar Bunga Utang sekitar Rp 550 triliun, Angsuran Utang/ Cicilan Pokok sekitar Rp 800 triliun. Total Rp 1.350 triliun. Jumlah yang sangat banyak. 

Ketergantungan yang tinggi dalam postur APBN terhadap Utang memicu kekhawatiran akan krisis utang dan menurunnya kedaulatan ekonomi.

Sungguh terjadi dan terkonfirmasi perlambatan pertumbuhan ekonomi dengan pengumuman 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan pada triwulan I-2025 adalah 4, 87 persen. Pertumbuhan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara tahunan (yoy) pada triwulan I-2024 yang sebesar 5,11 persen. Perlambatan ekonomi Indonesia diperburuk oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 yang lalu. Trump menetapkan tarif resiprokal atau tarif timbal balik 32 persen ke Indonesia. Langkah Trump ini diproyeksikan bakal menurunkan ekspor Indonesia ke AS dan menambah tekanan pada perekonomian Indonesia.

Kondisi perlambatan pertumbuhan ekonomi pada triwulan 1-2025 telah memicu peningkatan pengangguran, yang lebih tajam di kalangan pekerja berpendidikan menengah dan di kalangan sarjana. Ketimpangan pendidikan dan kebutuhan industri jadi masalah serius dan perlu dibenahi.

Lapangan kerja tidak bisa dibiarkan tanpa regulasi yang memastikan semua lapisan masyarakat mendapat menfaat dari pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen setahun.

Lebih jauh, banyak pihak menyoroti bahwa banyak perguruan tinggi masih berorientasi umum dan belum  sesuai atau link and match dengan kebutuhan pasar kerja/ industri.

BPS mencatat angka pengganguran Indonesia bertambah 83.000 orang dibandingkan dengan Februari 2024, menjadi 7,28 juta orang pada Februari 2025. Angkatan kerja tidak semua terserap di pasar kerja sehingga terdapat jumlah orang yang menganggur sebanyak 7,28 juta orang. Alih-alih mendadapat lapangan pekerja, malah PHK meluas yang turut menurunkan daya beli masyarakat.

Ketika pengangguran meningkat dan warga menuntut adanya lapangan kerja, sungguh ini sebuah  ironi. Indonesia kaya raya,SDA berlimpah, dan di saat yang sama sebagian masyarakat masih berjibaku  memperjuangkan kebutuhan hidup mendasar yang belum terpenuhi.

Zaman yang bergerak makin modern, mengimpit kehidupan di tengah berbagai tantangan yang harus dihadapi para pencari kerja. Kehidupan sehari-harinya harus dijalani dengan perjuangan berat.

Ada tiga program utama pemerintahan Prabowo tengah bersaing membutuhkan lahan. Ketiga program itu adalah swasembada pangan, pembangunan 3 juta rumah/ tahun, dan hilirisasi industri tambang dan perkebunan. Meskipun belum terdata secara pasti kebutuhannya, hilirisasi pun butuh lahan. Entah nanti untuk perluasan kawasan industri atau ekonomi khusus atau pun pembangunan kawasan industri perkebunan terintegrasi. Jika petani kehilangan lahan karena alih fungsi, maka ini hanya pergeseran beban. Beban dipindahkan dari utara ke selatan, dari pertanian alih fungsi ke properti atau industri. Bahkan, kita juga mulai bertanya, seberapa besar pergeseran ini, dan apakah manfaatnya lebih besar dari kerugiannya? Pemerintah senang bicara keberhasilan  tetapi lupa menghitung biaya sesungguhnya dari industri ekstraktif yang dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan jangka panjang. Kebijakan ini lebih mencerminkan populisme daripada keberpihakan nyata bagi ekonomi, sehingga potensi untuk mencapai 8 persen pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin dicapai tahun ini. Bahkan,pemerintah telah melakukan koreksi karena menyadari bahwa tampaknya tahun 2026 pun bukan tahun yang mudah bagi perekonomian nasional. Di tahun itu,situasi dunia diprediksi masih berkutat dalam pusaran dagang yang kian intens darpada saat ini. Dengan kata lain, fragmentasi perdagangan dan investasi internasional menekan rantai pasok global dan memicu lonjakan resiko serta volatilitas di pasar dunia.

Di tengah proyeksi tersebut, Presiden Prabowo Subianto menetapkan target pertumbuhan ekonomi minimal 5,2 persen pada tahun 2026 sebagai kebijakan fiskal ekspansif untuk bantalan utama menghadapi ketidakpastian global. Pemerintah mengakui sejumlah program prioritas 2026 berisiko menambah beban APBN jika tidak dijalankan secara optimal. Resiko itu mencakup potensi berkurangnya penerimaan atau tambahan belanja negara. 

John Roemer, seorang filsuf ekonomi terkemuka menekankan bahwa capaian hidup adalah kombinasi dari usaha dan keadaan. Usaha adalah faktor yang dapat dikendalikan individu, sementara keadaan adalah faktor yang berada di luar kendali. Keadaan dunia mungkin sedang kurang baik. Namun, dengan 

usaha yang kuat untuk memperbaiki efektivitas dan arah kebijakan fiskal dalam menopang Belanja Negara,agar tidak hanya difokuskan pada konsumsi jangka pendek untuk mencapai potensi maksimalnya. Karena itu, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani pun berbenah mengelola defisit APBN- nya dengan meningkatkan penerimaan negara. Pada Jumat (23/5/2025) melantik sejumlah pejabat eselon I di Kementerian Keuangan termasuk dua pejabat Dirjen pilihan Presiden Prabowo yakni Bimo Wijayanto sebagai Dirjen Pajak dan Letjen TNI Djaka Budhi Utama sebagai Dirjen Bea Cukai yang baru.

Pengangkatan dua Dirjen baru tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara di tengah tantangan pengawasan tata kelola yang lebih ketat.

(Bersambung)

    Related post